Srawung Bersemangat Bhinneka Tunggal Ika
“Orang yang sering teriak “kafir”
kepada orang lain karena tidak seiman atau sealiran, berarti orang itu tidak
tahu apa itu Agama. Agama yang bisa diartikan Agemaning Aji menuntut kita
untuk tresna tinresnan dengan sesama. Sebab sing aji itu adalah
budi pekerti. Budi pekerti yang luhur tercermin dari pengendalian jiwa,
sehingga tidak dibenarkan jika kita meng-kafir-kafirkan orang lain yang tidak
sealiran dengan kita.” Demikian pitutur Ki Aksa Wisnu Prabu Aji saat
Penghayat Kebatinan itu menjadi narasumber Temu Kebatinan Katolik (Tebat), di
kompleks Gua
Maria Kereb Ambarawa (GMKA), Sabtu-Minggu (7-8/7) lalu.
Tema
Tebat edisi ke-33 adalah ‘Mengolah
Keheningan Batin untuk Srawung secara
inklusif, Inovatif dan Transformatif dalam Semangat Bhinneka Tunggal Ika’. Selain Ki Aksa, hadir
sebagai narasumber Rama
Stefanus Sumpono MSC (Pelaku Dialog Kehidupan dan Kebudayaan di Taroanggro),
serta Dewi Praswida (Penggiat Gusdurian dan Utusan Pre Sinodia Orang Muda di
Vatikan).
Dalam Tebat
ini, Rama
Aloysius Budi Purnomo selaku Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan
Keuskupan Agung Semarang (HAK-KAS) mengajak pandemen Tebat untuk tidak
hanya mengerti dan memahami arti kata srawung,
namun juga mengajak untuk terus mengupayakan dan mewujudkannya dalam hidup
sehari-hari.
Rama Budi pun menyebutkan bahwa di sepanjang tahun 2017, Komisi HAK-KAS telah
menyelenggarakan berbagai kegiatan srawung.
Ada Srawung Orang Muda, ada Srawung Seniman dan Budayawan, dan Srawung memuncak
pada peristiwa-peristiwa budaya yakni dengan diselenggarakan Gelar Seni Budaya.
Srawung Desa
Reco
Rama Stefanus Sumpono MSC dalam sesi pertama menjelaskan
untuk bisa srawung harus diawali
dengan kesadaran bahwa Tuhan Allah telah lebih mencintai manusia, sekalipun
manusia itu berdosa dan cenderung tidak setia, namun cinta Allah terhadap
manusia itu tetap.
Rama yang berkarya di Paroki
Kapencar-Wonosobo ini lantas menyebutkan upaya srawung inklusif,
inovatif dan transformatif yang dilakukan
di Desa Reco, Dusun Anggrunggondok. “Saat
merayakan HUT Sewindu Taroanggro, kami pilih tema Paseduluran dalam
keberagaman. Kami juga menyelenggarakan buka puasa bersama sekali pada bulan
Ramadhan
saudara-saudara muslim, serta menyembelih kambing kurban pada hari Raya Idul
Adha,” imbuh
Rama Sumpono.
Dewi Praswida sebagai salah satu
narasumber hari Minggu, menuturkan pengalamannya. “Kalau nanti ditanya perkara
keyakinan bagaimana? Lalu apa yang musti saya bicarakan di sana?, dan banyak pertanyaan
lain yang mengarahkan otak saya untuk berpikir,” demikian kesan Dewi saat berbagi
pengalaman ketika menghadiri Pre-Synodal Meeting for Young People 2018
di Vatican, pada 18 Maret 2018 lalu.
Dewi yang merupakan salah satu delegasi dari Indonesia
itu lantas mendapatkan pengalaman bagaimana konsep pemahaman akan sang pencipta
hingga penghayatannya dalam kehidupan sehari-hari dari agama Katolik, Sikh
(India) dan Buddha.
“Setelah saya berbincang dan melihat
langsung bagaimana rekan saya itu beribadah, ternyata semua beribadah kepada
Sang Pencipta; tidak beribadah kepada yang
lain. Hanya cara kami menyembah saja yang berbeda” tandas wanita berkacamata
itu. # JokoPit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar